BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Saat
ini, kematian orang lanjut usia mencakup dua pertiga dari 2 juta kematian yang
terjadi setiap tahun. Jadi apa yang kita ketahui tentang kematian, menjelang
ajal, dan berduka terutama berdasarkan informasi tentang orang lanjut usia.
Kematian usia muda lebih jarang terjadi. Apa yang terjadi secara historis
adalah kapan, di mana, dan bagaimana orang meninggal. Bagaimana kita menghadapi
kematian adalah bagian dari budaya kita. Setiap budaya memiliki cara menghadapi
kematian, dan variasinya terjadi diseluruh budaya.
2. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
karakteristik kematian dalam konteks budaya dan historisnya?
2.
Bagaimana
kematian didefinisikan?
3.
Bagaimana
kaitan antara perkembangan dan kematian?
4.
Bagaimana
seseorang menghadapi kematiannya sendiri?
5.
Bagaimana
cara seseorang mengatasi kematian orang yang dicintainya?
3. TUJUAN
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai
aspek dari kematian dan proses kematian.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Sistem Kematian dan Konteks Budaya
SISTEM KEMATIAN DAN VARIASI BUDAYANYA
Robert
Kastenbaum (1932 - 2013) menekankan bahwa sistem kematian dalam budaya apapun
terdiri dari komponen berikut (Kastenbaum 2009, 2012)
•
Orang-orang, Karena kematian tidak dapat
dielakkan, semua orang terlibat dengan kematian di beberapa titik, entah
kematian mereka sendiri atau kematian orang lain
•
Tempat atau Konteks. Ini termasuk rumah
sakit, rumah pemakaman, pemakaman, rumah perawatan, medan perang, dan
peringatan (seperti vietnam veterans Memorial wall di washington DC)
•
Waktu. Kematian melibatkan waktu atau
kesempatan, seperti hari peringatan di Amerika Serikat dan Hari Orang Mati di
Meksiko, yang merupakan masa untuk menghormati orang-orang yang telah meninggal
dunia.
•
Benda. Banyak benda dalam budaya
dikaitkan dengan kematian, termasuk peti mati, berbagai benda hitam seperti
pakaian, ban lengan, dan mobil jenazah.
•
Simbol. Simbol seperti tengkorak dan
tulang bersilang, serta ritus terakhir dalam agama Katolik dan berbagai upacara
keagamaan, berhubungan dengan kematian.
Untuk Hidup Penuh dan mati dengan kemuliaan
adalah tujuan yang berlaku dari orang-orang Yunani kuno. Individu lebih sadar
akan kematian di masa perang, kelaparan, dan wabah penyakit. Sedangkan orang
Amerika dikondisikan sejak awal kehidupan untuk hidup seolah-olah mereka abadi,
di sebagian besar dunia fiksi ini tidak dapat dipertahankan.
Sebagian
besar masyarakat sepanjang sejarah memiliki keyakinan filosofis atau religius
tentang kematian, dan kebanyakan masyarakat memiliki ritual yang menangani
kematian (Walter, 2012). Kematian bisa dilihat sebagai hukuman atas dosa seseorang,
tindakan penebusan dosa, atau penghakiman dari Tuhan yang adil.
CHANGING
HISTORICAL CIRCUMSTANCE
Satu perubahan historis melibatkan kelompok
usia di mana kematian paling sering terjadi. Dua ratus tahun yang lalu,
setidaknya satu dari dua anak meninggal sebelum usia 10 tahun, dan satu orang
tua meninggal sebelum anak-anak tumbuh dewasa. Saat ini,
kematian paling sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua (Carr, 2009).
Harapan hidup telah meningkat dari 47 tahun untuk seseorang yang lahir pada
tahun 1900 sampai 78 tahun untuk seseorang yang lahir hari ini (Biro Sensus A.S
2013). Di Amerika Serikat saat ini, lebih dari 80 persen kematian terjadi di
institusi atau rumah sakit. Perawatan orang tua yang sekarat telah bergeser
dari keluarga dan meminimalkan paparan kita terhadap kematian dan lingkungannya
yang menakjubkan (Emas, 2011).
2. Mendefinisikan Kematian dan Isu-isu Mengenai Hidup/Kematian
ISU-ISU DALAM MENENTUKAN KEMATIAN
Menentukan
apakah seseorang sudah mati lebih sederhana dari sekarang. Akhir dari fungsi
biologis tertentu, seperti pernapasan dan tekanan darah, dan kekakuan tubuh
(rigor mortis) dianggap sebagai tanda kematian yang jelas. Dalam beberapa
dekade terakhir, mendefinisikan kematian telah menjadi lebih kompleks (Goswami
& yang lainnya, 2013; Nair-Collins, Northrup, & Olcese, 2014; Taylor
& Others, 2014)
Kematian otak adalah defenisi neurologis
kematian, yang menyatakan bahwa seseorang mati otak saat aktivitas eletrik otak
telah berhenti untuk jangka waktu tertentu. Pembacaan EEG (electroencephalogram)
datar untuk jangka waktu tertentu adalah satu kriteria kematian otak. Bagian
otak yang lebih tinggi sering mati lebih cepat daripada bagian bawahnya. Karena
bagian bawah otak memantau detak jantung dan pernafasan, individu yang area otaknya
tinggi telah meninggal dapat terus bernafas dan memiliki detak jantung
(Binderman, Krakauer, & Solomon, 2012; MacDougall & Others, 2014)
KEPUTUSAN MENGENAI HIDUP, KEMATIAN,
DAN PERAWATAN KESEHATAN
Advance Care Planing. Mengacu pada proses ptients memikirkan
dan mengkomunikasikan preferensi mereka tentang akhir perawatan jiwa
(Abel & Others, 2013; Harrison & McGee, 2014; Silveira, Witala &
Piete, 2014). Sebuah studi baru-baru ini bahwa perencanaan perawatan di muka
menurunkan perawatan penunjang hidup, meningkatkan penggunaan hospice, dan
penurunan ise rumah sakit (Brinkman-Stoppelenburg, Rietiens, & van der
heide, 2014). Menyadari bahwa beberapa pasien yang sakit parah mungkin lebih
memilih untuk meninggal daripada berlama-lama dalam keadaan bercumbu atau
vegetatif, organisasi "Choice in Dying" menciptakan surat wasiat,
sebuah dokumen hukum yang mencerminkan perencanaan perawatan pasien sebelumnya.
Petunjuk
awal, seperti kehendak hidup. Perintah di muka menyatakan preferensi seperti
apakah prosedisi bertahan kehidupan seharusnya atau tidak boleh digunakan untuk
memperpanjang umur seseorang saat kematian sudah dekat (Kovacs, Landzberg,
& Godlin, 2013). Sebuah studi tentang akhir perencanaan kehidupan
mengungkapkan bahwa hanya 15 persen pasien berusia 18 tahun dan lebih tua
memiliki keinginan hidup (Clements, 2009).
Euthanasia (kematian mudah) adalah tindakan tanpa
rasa sakit mengakhiri kehidupan individu yang menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan atau cacat servere (Augestad & yang
lainnya, 2013; Gormley Fleming & Campbell, 2014). Kadang euthanasia disebut
"pembunuhan rahmat" Perbedaan antara dua jenis euthanasia: Pasif dan
Aktif.
•
Euthanasia pasif terjadi ketika
seseorang diizinkan meninggal dengan menahan perawatan yang ada, seperti
mencabut perangkat pendukung kehidupan. Misalnya, ini mungkin melibatkan
mematikan respirator atau mesin paru-paru jantung
•
euthanasia aktif. Terjadi saat kematian
sengaja diinduksi, seperti saat dosis mematikan obat disuntikkan.
Yang
Dibutuhkan : Perawatan bagi Orang yang Menjelang Ajal. Kemajuan ilmu pengetahuan sering kali
membuat kematian semakin sulit dengan menunda hal yang tidak dapat dihindari.
Meskipun obat penahan rasa sakit tersedia, masih banyak orang yang kesakitan
selama beberapa hari atau bulan terakhir hidupnya. (Alonso-Babbaro & kawan kawan, 2010;
Casell & Rich, 2010). Banyak tenaga kerja kesehatan yang tidak memperoleh
pelatihan untuk merawat orang yang menjelang ajal atau memahami arti
pentingnya. Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa dalam banyak kasus,
dokter tidak memberikan informasi yang cukup pada pasien tentang sisa hidup
mereka atau berbagai pengobatan yang bisa memengaruhi kehidupan mereka (
Harrington & Smith, 2008). Sebagai contoh , dalam penelitian ini hanya 37
persen pasien kanker yang diinformasikan oleh dokter tentang sisa hidupnya.
Terdapat beberapa ukuran
keberhaislan dalam menghindari rasa sakit di akhir hidup, diantaranya ialah
(Cowly & Hager, 1995) :
·
Buatlah surat wasiat, dan yakinkan
seseorang akan menyampaikannya pada dokter anda
·
Berikan kuasa pada seseorang, dan
pastikan orang tersebut tahu apa yang anda inginkan dari perawatan kesehatan.
·
Berikan instruksi spesifik pada dokter
anda seperti “jangan resusitasi” atau “ lakukan apapun yang memungkinkan” untuk
konsdisi spesifik.
·
Jika anda ingin meninggal dirumah ,
bicarakan pada keluarga dan dokter anda.
·
Periksa apakah asuransi anda mengganti
biaya perawatan rumah sakit dan hospice.
Hospice adalah sebuah program yang memiliki komitmen untuk mengusahakan
berakhirnya hidup tanpa rasa sakit, cemas dan depresi
(Berry, 2010; Dunn, 2009). Apabila rumah sakit bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit dan memperpanjang hidup, perawatan hospice lebih menekankan pada perawatan untuk meredakan (palliativecare),
yaitu usaha mengurangi rasa sakit dan penderitaan, serta membantu individu
meninggal secarabermartabat (Bruera & kawan kawan, 2010; Chan& Webster,
2010; Zaider & Kissane, 2009).
Gerakan hospice dimulai di akhir tahun 1960an di London, hampir tidak ada
peralatan yang dapat digunakan untuk memperpanjang seperti mesin pemompa
jantung dan paru paru , ruang perawatan intensif (intensive unit care atau ICU
). Tujuan utamanya adalah mengusahakan agar rasa sakit tertahankan dan membantu
seseorang untuk menghadapi kematiannya dalam kondisi yang sehat secara
psikologis ( McMillan & Small, 2007). Hospice juga melibabatkan semua udaha
yang melibatkan keluarga dan individu yang mendekati ajal.para ahli
mengungkapkan bahwa cara ini tidak hanya membantu individu yang mendekati ajal,
namun juga agar anggota keluarganya tidak terlalu merasa bersalah setelah
individu tersebut meninggal ( Kastenbaum, 2009).
3. Perspektif Perkembangan Mengenai Kematian
PENYEBAB
KEMATIAN
Kematian
dapat terjadi kapan saja disepanjang kehidupan manusia. Kematian dapat terjadi
selama perkembangan prakelahiran melalui keguguran atau lahir dalam keadaan
tidak bernyawa. Kematian juga dapat terjadi selama proses
kelahiran atau dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran, dimana hal ini
biasa terjadi karna cacat lahir atau karena bayi tersebut tidak berkembang
secara memadai untuk melangsungkan kehidupannya di luar rahim. Bayi yang
mengalami SIDS, berhenti bernafas secara tiba tiba biasanya terjadi dimalam
hari, dan meninggal tanpa penyebab yang jelas (Dwyer & Ponsonby.2009;
Ostfeld & kawan kawan, 2010). Saat ini SIDS adalah penyebab terbesar
kematian bayi yang terjadi di amerika serikat, dimana resiko tertinggi terjadi
ketika bayi berusia antara 2 minggu hingga 4 minggu ( NICHD, 2010).
Dimasa kanak – kanak, kematian lebih
banyak terjadi disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit. Contoh kematian dimasa
kanak kanak yang disebabkan oleh kecelakaan adalah tertabrak mobil,tenggelam,
keracunan, terbakar atau jatuh dari ketinggian. dibandingkan dengan masa kanak
kanak, dimasa remaja cenderung disebabkan oleh kecelakaan ketika mengendarai
kendaraan bermotor, bunuh diri, atau dibunuh.
Kematian yang terjadi diantara orang
orang lanjut usia lebih banyak disebabkan oleh kpenyakit kronis, seperti
penyakit jantung dan kanker. Sementara kematian yang terjadi pada orangorang
muda lebih banyakn disebabkan oleh kecelakaan.
SIKAP
TERHADAP KEMATIAN DI BEBERAPA FASE PERKEMBANGAN MASA HIDUP.
Usia anak anak dan orang dewasa
memengaruhi cara mereka mengalami dan berfikir mengenai kematian. Konsepsi
orang dewasa yang matang mengenai kematian meliputi pemahaman bahwa kematian
merupakan sesuatu yang bersifat final dan tidak dapat diubah, bahwa kematian
merupakan akhir dari kehidupan,dan bahwa semua yang hidup harus mati (Hayslip
& Hansson, 2003).
Masa
kanak kanak.
Anak
anak tidak mempersepsikan waktu seperti yang dipersepsikan oleh orang dewasa.
Bagi sebagian besar bayi, hadirnya kembali seorang pengasuh dapat memberikan
kesinambungan dari keberadaannya dan hal ini dapat mengurangi kecemasan. Anak
anak yang berusia 3 sampai 5 tahun sama sekali belum memiliki ide tentang
pengertian kematian.
Kadangkala, dimasa kanak kanak
menengah dan akhir, mereka mengembangkan persepsi yang lebih realistis mengenai
kematian. Dalam sebuah rangkuman penelitian yang mempelajari konsepsi anak anak
mengenai kematian, disimpulkan bahwa anak anak belum dapat memandang kematian
sebagai sesuatu yang bersifat universal dan tidak dapat diputar kembali; hal
ini dialami hingga anak berusia 9 tahun.
Remaja
pada remaja kemungkinan meninggal, seperti halnya
kemugkinan menjadi tua, dianggap sebagai sebuah gagasan yang sangat jauh, dan
juga kematian dianggap dapat dihindari, diabaikan atau dijadikan bahan olok
olokan.
Perspektif ini merupakan pemikiran kesadaran diri yang tipikal dari seorang
remaja. Meskipun demikian, beberapa remaja memperlihatkan kepedulian terhadap
kematian. berusaha untuk memahami maknanya dan dalam menghadapi kemungkinan
kematiannya sendiri.
Remaja mengembangkan konsep yang
lebih abstrak mengenai kematian daripada anak anak. Sebagai contoh, remaja
mendeskripsikan kematian dalam pengertian kegelapan, sinar , transisi atau
ketiadaan (Wenestam dan Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan pandangan
religius dan filosofis mengenai hakekat kematian dan apakah terdapat kehidupan
setelah kematian.
Ingatlah,
tentang konsep mengenai egosentrisme remaja dan fabel pribadi-yaitu, preokupasi remaja dengan dirinya sendiri dan
keyakinan bahwa mereka tidak terkalahkan dan unik. Dengan demikian, tidak aneh
apabila remaja beranggapanj bahwa mereka memiliki semacam kekebalan terhadap
kematian dan kematian merupakan hal yang dapat terjadi pada orang lain, namun
tidak dapat terjadi pada diri mereka.meskipun demikian, beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa alih-alih menganggap diri mereka tidak terkalahkan, remaja
cenderung melihat diri mereka rentan menghadapi kematian dini (Fischhoff &
kawan-kawan, 2010; Reyna & Rivers, 2008).
Masa
Dewasa
Seiring
dengan bertambahnya usia, kesadaran mengenai kematian pada seseorang juga
meningkat, di mana kesadaran ini biasanya menjadi intensif di masa dewasa
menengah.
Dalam diskusi kita mengenai masa dewasa menengah, kami telah memperlihatkan
bahwa masa setengah-baya merupakan waktu di mana orang dewasa mulai berpikir
lebih banyak mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidupnya. Para
peneliti telah menemukan bahwa orang-orang paruh-baya memiliki ketakutan yang
lebih besar terhadap kematian dibandingkan orang-orang dewasa yang lebih muda
atau lebih tua (Kalish dan Reynolds, 1976). Orang dewasa yang lebih tua
didorong umtuk lebih sering mengkaji makna dari kehidupan dan kematian
dibandingkan orang-orang yang lebih muda.
Dibandingkan orang-orang dewasa menengah, orang-orang dewasa muda yang mendekati ajal sering kali lebih merasa hidupnya “dicuri” dibandingkan orang lanjut usia dengan situasi demikian (Kalish, 1987). Orang-orang dewasa muda lebih sering merasa bahwa mereka belum memperoleh kesempatan untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan dalam hidupnya. Orang dewasa muda merasa bahwa mereka kehilangan apa yang sebenarnya ingin mereka raih, sementara orang dewasa tua merasa bahwa mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki.
Di usia tua, kematian diri sendiri dapat diterima secara lebih baik. Meningkatnya pemikiran dan percakapan mengenai kematian, dan meningkatnya penghayatan mengenai integritas yang diperoleh melalui suatu tinjauan hidup, dapat membantu orang lanjut usia menghadapi kematiannya. Dibandingkan orang-orang yang lebih muda, orang-orang lanjut usia biasanya tidak begitu banyak memiliki urusan yang belum selesai. Mereka biasanya tidak memiliki anak-anak yang perlu dibimbing untuk mencapai kematangan, pasangan mereka mungkin sudah meninggal, dan mereka memiliki lebih sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Meskipun demikian, sikap orang-orang lanjut usia terhadap kematian tetap bervariasi.
Dibandingkan orang-orang dewasa menengah, orang-orang dewasa muda yang mendekati ajal sering kali lebih merasa hidupnya “dicuri” dibandingkan orang lanjut usia dengan situasi demikian (Kalish, 1987). Orang-orang dewasa muda lebih sering merasa bahwa mereka belum memperoleh kesempatan untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan dalam hidupnya. Orang dewasa muda merasa bahwa mereka kehilangan apa yang sebenarnya ingin mereka raih, sementara orang dewasa tua merasa bahwa mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki.
Di usia tua, kematian diri sendiri dapat diterima secara lebih baik. Meningkatnya pemikiran dan percakapan mengenai kematian, dan meningkatnya penghayatan mengenai integritas yang diperoleh melalui suatu tinjauan hidup, dapat membantu orang lanjut usia menghadapi kematiannya. Dibandingkan orang-orang yang lebih muda, orang-orang lanjut usia biasanya tidak begitu banyak memiliki urusan yang belum selesai. Mereka biasanya tidak memiliki anak-anak yang perlu dibimbing untuk mencapai kematangan, pasangan mereka mungkin sudah meninggal, dan mereka memiliki lebih sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Meskipun demikian, sikap orang-orang lanjut usia terhadap kematian tetap bervariasi.
4. Menghadapi Kematian Diri Sendiri
Sebagian
besar individu yang mendekati ajal ingin memiliki sebuah kesempatan untuk
membuat sejumlah keputusan mengenai kehidupan dan kematian mereka sendiri
(Kastenbaum, 2004).
Penelitian terbaru mempelajari 36 orang yang mendekati ajalnya, berusia 38 hingga 92 tahun dengan rata-rata usia 68 tahun (Terry dkk., 2006) Tiga area perhatian yang selalu muncul adalah (1) privasi dan otonomi, terutama menyangkut keluarga mereka; (2) informasi yang tidak cukup mengenai perubahan fisik dan perawatan medis ketika menjelang ajal; (3) motivasi untuk memperpendek hidup mereka, yang diindikasikan oleh semua pasien.
Penelitian terbaru mempelajari 36 orang yang mendekati ajalnya, berusia 38 hingga 92 tahun dengan rata-rata usia 68 tahun (Terry dkk., 2006) Tiga area perhatian yang selalu muncul adalah (1) privasi dan otonomi, terutama menyangkut keluarga mereka; (2) informasi yang tidak cukup mengenai perubahan fisik dan perawatan medis ketika menjelang ajal; (3) motivasi untuk memperpendek hidup mereka, yang diindikasikan oleh semua pasien.
TAHAP-TAHAP
MENJELANG KEMATIAN MENURUT KUBLER-ROSS
Elisabeth Kubler-Ross (1969) membagi
perilaku dan pikiran dari orang yang mendekati ajal ke dalam lima tahap, yaitu:
penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
Penolakan
dan isolasi (denial and isolation)
adalah
tahap pertama dari proses menjelang kematian sebagaimana dinyatakan oleh
Kubler-Ross, di mana orang
yang akan meninggal menyangkal bahwa ia akan meninggal. Meskipun
demikian, penolakan biasanya hanya merupakan mekanisme pertahanan diri yang
bersifat sementara. Penolakan akan diganti dengan meningkatnya kesadaran
apabila orang tersebut dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan,
urusan yang belum selesai, dan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup anggota
keluarga nantinya.
Marah
(anger)
adalah tahap kedua menurut Kubler-Ross, di mana orang yang mendekati ajal menyadari bahwa
penyangkalan yang dilakukan selama ini tidak dapat dipertahankan lagi.
Pada titik ini, seseorang menjadi semakin sulit dirawat karena kemarahannya
sering kali salah sasaran dan dilampiaskan kepada dokter, perawat, anggota
keluarga, dan bahkan kepada Tuhan.
Menawar
(bargaining)
adalah tahap ketiga dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut berharap kematiannya dapat ditunda atau
ditangguhkan. Beberapa orang melakukan penawaran atau negosiasi-sering
kali kepada Tuhan- ketika mereka mencoba menunda kematiannya.
Depresi
(depression)
adalah tahap keempat dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut mulai menerima kepastian atas kematiannya.
Periode deperesi atau persiapan duka-cita dapat saja muncul. Orang mendekati
ajalnya mungkin akan menjadi pendiam, menolak dikunjungi, serta menghabiskan
banyak waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dan sebenarnya
merupakan usaha nyata untuk melepaskan diri dari seluruh objek yang disayangi.
Munurut Kubler-Ross, orang pada tahap ini tidak perlu dihibur karena orang
tersebut perlu merenungkan kematiannya yang akan segera terjadi.
Menerima
(acceptance)
adalah tahap kelima dari proses menjelang kematian sebagaimana dikemukakan oleh
Kubler-Ross, di mana orang
tersebut mengembangkan rasa damai, menerima nasibnya, dan dalam banyak kasus,
ingin dibiarkan sendiri. Dalam tahap ini, perasaan dan rasa sakit pada
fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan tahap kelima sebagai akhir
perjuangan menjelang kematian.
Bagaimana evaluasi terkini mengenai
pendekatan Kubler-Ross? Menurut Robert Kastenbaum (2009), pendekatan
Kubler-Ross memiliki beberapa masalah, yaitu:
·
Keberadaan lima-tahap tersebut belum
pernah ditunjukkan oleh Kubler-Ross atau penelitian independen.
·
Interpretasi terhadap tahap-tahap ini
mengabaikan situasi pasien, termasuk dukungan relasi, efek tertentu dari
penyakit, kewajiban keluarga, dan iklim institusi di mana mereka diwawancarai.
Karena tahap-tahap Kubler-Ross
banyak dikritik, beberapa psikolog memilih untuk tidak menganggap uraian
Kubler-Ross itu sebagai tahapan, tapi sebagai potensi reaksi pada orang-orang
yang mendekati ajal.
Apakah individu menjadi spiritual ketika mereka mendekati kematiannya? Penelitian terbaru terhadap lebih dari 100 pasien dengan penyakit jantung yang diteliti dua kali dengan selang enam bulan, menemukan bahwa ketika pasien semakin mendekati ajalnya, mereka menjadi lebih spiritual.
Apakah individu menjadi spiritual ketika mereka mendekati kematiannya? Penelitian terbaru terhadap lebih dari 100 pasien dengan penyakit jantung yang diteliti dua kali dengan selang enam bulan, menemukan bahwa ketika pasien semakin mendekati ajalnya, mereka menjadi lebih spiritual.
PEMAHAMAN
TERHADAP KENDALI DAN PENOLAKAN
Bagi
beberapa orang lanjut usia yang menghadapi kematian, pemahaman tehadap kendali
yang dimiliki dapat menjadi strategi yang adaptif. Ketika
individu dibiarkan untuk memiliki keyakinan bahwa mereka dapat memengaruhi dan
mengendalikan peristiwa -seperti memperpanjang hidupnya- mereka dapat menjadi
lebih waspada dan gembira.
Bagi sejumlah individu, penolakan juga dapat menjadi suatu cara yang baik dalam menghadapi kematian. Cara ini dapat bersikap adaptif maupun maladaptif. Penolakan ini mencegah individu agar tidak mengatasinya dengan perasaan marah dan terluka; meskipun demikian, apabila penolakan mencegah kita untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dapat mempertahankan hidup, maka penolakan itu dikatakan bersifat maladaptif. Penolakan dapat baik ataupun buruk; kualitas adaptifnya perlu dievaluasi secara individu.
Bagi sejumlah individu, penolakan juga dapat menjadi suatu cara yang baik dalam menghadapi kematian. Cara ini dapat bersikap adaptif maupun maladaptif. Penolakan ini mencegah individu agar tidak mengatasinya dengan perasaan marah dan terluka; meskipun demikian, apabila penolakan mencegah kita untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dapat mempertahankan hidup, maka penolakan itu dikatakan bersifat maladaptif. Penolakan dapat baik ataupun buruk; kualitas adaptifnya perlu dievaluasi secara individu.
BEBERAPA
KONTEKS DI MANA ORANG MENINGGAL
Bagi individu yang mendekati ajal,
konteks di mana mereka meninggal merupakan hal yang penting.
Rumah sakit menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi individu yang mendekati ajal; sebagai contoh, para staf professional sudah siap dan dilengkapi dengan teknologi medis yang dapat memperpanjang hidup. Namun, rumah sakit mungkin bukanlah tempat terbaik bagi banyak orang untuk meninggal (Pantilat & Isaac, 2008). Sebagian besar individu mengatakan bahwa mereka lebih memilih meninggal di rumah (Jackson & kawan-kawan, 2010; Kalish & Reynolds, 1976). Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang akan menjadi beban bagi keluarga. Individu-individu yang menghadapi kematian juga mengkhawatirkan kemampuan dan ketersediaan penanganan medis yang siap sedia dalam kondisi darurat, apabila mereka tinggal di rumah.
Rumah sakit menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi individu yang mendekati ajal; sebagai contoh, para staf professional sudah siap dan dilengkapi dengan teknologi medis yang dapat memperpanjang hidup. Namun, rumah sakit mungkin bukanlah tempat terbaik bagi banyak orang untuk meninggal (Pantilat & Isaac, 2008). Sebagian besar individu mengatakan bahwa mereka lebih memilih meninggal di rumah (Jackson & kawan-kawan, 2010; Kalish & Reynolds, 1976). Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang akan menjadi beban bagi keluarga. Individu-individu yang menghadapi kematian juga mengkhawatirkan kemampuan dan ketersediaan penanganan medis yang siap sedia dalam kondisi darurat, apabila mereka tinggal di rumah.
5 Mengatasi Kematian Orang Lain
Setiap
orang pasti pernah mengalami sebuah kehilangan dalam hidup mereka seperti
perceraian, kehilangan pekerjaan ataupun kematian seseorang yang kita cintai.
Bagaimanakah cara terbaik kita untuk berkomunikasi dengan seseorang menjelang
kematiannya? Bagaimana cara kita mengatasi kematian seseorang yang kita cintai?
BERKOMUNIKASI
DENGAN ORANG MENJELANG AJALNYA
Ada
beberapa keuntungan dari kesadaran seseorang menjelang kematiannya . pertama,
individu dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara meninggal sesuai keinginannya.
Kedua, mereka dapat menyelesaikan beberapa rencana dan proyek, dapat melakukan
pengaturan bagi orang-orang yang masih hidup, dan dapat berpartisipasi dalam
membuat keputusan mengenai pemakamannya. Ketiga, individu berkesempatan
meninjau kembali hidupnya, berbincang dengan orang-orang yang penting dalam
hidupnya, dan mengakhiri kehidupannya dengan kesadaran mengenai bagaimana
kehidupannya selama ini. Dan keempat, individu itu menjadi lebih memahami apa
yang terjadi dengan tubuhnya dan apa yang dilakukan oleh para staf medis
terhadap tubuhnya. Dan komunikasi sebaiknya difokuskan pada kekuatan individu
dan persiapan untuk mengahadapi sisa hidupnya.
DUKACITA
Dimensi-dimensi
Dukacita
Dukacita (grief) adalah ketumpulan emosi,
ketidakyakinan, kecemasan karena keterpisahan (separation anxiety), putus asa,
kesedihan, dan kesepian, yang menyertai kehilangann seseorang yang kita cintai.
Dukacita bukanlah suatu kondisi emosional yang sederhana, melainkan suatu
kondisi komnpleks yang melibatkan proses dengan berbagai dimensi.
Proses
dukacita itu naik-turun dan bukan tahapan yang teratur dan jelas. Naik-turunnya
dukacita sering kali melibatkan perubahan emosi yang berlangsung cepat,
menghadapi tantangan untuk mempelajari keterampilan baru, mendeteksi kelemahan
dan keterbatasan pribadi, menciptakan pola-pola perilaku yang baru, dan
membentuk persahabatan dari relasi-relasi baru.
Dukacita
yang panjang kadangkala ditutupi dan dapat mengakibatkan seseorang mengalami
depresi dan bahkan bunuh diri. Meskipun demikian, komunikasi keluarga yang baik
dapat membantu mengurangi insiden depresi dan bunuh diri. Ahli terkemuka Holly
Prigerson dan koleganya baru-baru ini menyarankan penggunaan istilah dukacita
berkepanjangan (Prolonged Grief) untuk mendeskripsikan jenis dukacita dengan
keputusasaan berkepanjangan dan tidak terselesaikan selama beberapa waktu
tertentu.
Jenis
dukacita yang lain adalah dukacita disenfranchised, yang mendeskripsikan
dukacita seseorang terhadap orang yang meninggal, yang secara sosial merupakan
kehilangan yang tidak dapat diungkapkan atau didukung secara terbuka seperti
relasi yang tidak diakui secara sosial seperti mantan pasangan dan kehilangan yang ditutupi sperti aborsi.
Model
Dual Proses dalam Mengatasi Pengalaman Kehilangan
Model Dual Proses adalah model usaha coping
masalah kematian yang terdiri dari (1) stressor yang berorientasi pada
kehilangan, dan (2) stressor yang berorientasi pada pemulihan.
Stressor yang berorientasi pada kehilangan berfokus pada individu yang telah
meninggal dan mencakup mengenang kembali secara positngkan stressor yang
berfokus pada pemulihan adalah stressor tingkat dua yang timbul sebagai hasil
tidak langsung dari berkabung. Dalam model dual proses, coping terhadap
kehilangan dan upaya pemulihan dapat dilakukan secara bersama-sama. Meskipun
upaya coping terhadap kehilangan dan melakukan pemulihan dapat berlangsung
bersama-sama, biasanya tahap awal diawali dengan upaya coping terhadap
kehilangan, kemudian diikuti dengan upaya pemulihan.
Coping dan Jenis Kematian
Pengaruh
kematian terhadap individu-individu yang selamat sangat dipengaruhi oleh
situasi dimana kematian itu terjadi. Kematian yang terjadi secara mendadak,
sebelum waktunya, disebabkan oleh kekerasan, atau traumatic, cenderung
memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap individu yang
ditinggalkan; proses coping juga tersa lebih sulit bagi mereka.
Kematian-kematian semacam itu sering kali disertai post-traumatic stress
disorder (PTSD) seperti munculnya pikiran-pikiran yang mengganggu, gangguan
tidur, gangguan konsentrasi, dan sebagainya.
Variasi
Budaya dalam Dukacita yang Sehat
Sangat
penting memutuskan ikatan dengan orang yang telah meninggal. Ada banyak variasi
dalam hal kecenderungan melanjutkan ikatan dengan orang yang sudah meninggal. Ritual
agama di Jepang cenderung menerima dan melestarikan pembinaan iaktan dengan
orang yang sudah meninggal. Di
Hopi-Arizona , orang –orang cenderung secepat mungkin melupakan orang yang
sudah meninggal dan melanjutkan kehidupan seperti biasanya. Ritual penguburan
mereka ditutup dengan memutuskan hubungan antara manusia dan roh.
Pola
dukacita yang bereda-beda ini terkait dengan budaya. Terdapat berbagai cara
untuk mengenang orang yang telah meninggal dan serangkaian tahp yang harus dilalui oleh orang yang
berdukacita agar mereka dapat menyesuaikan kembali secara baik. Yang perlu
dipahami adalah bahwa usaha mengatasi penglaman kematian dari orang yang kita
cintai melibatkan pertumbuhan, fleksiblitas, dan kepatutan dalam konteks
budaya.
MEMAHAMI
DUNIA INI
Salah
satu keuntungan dukacita adalah bahwa dukacita merangsang individu untuk
mencoba memahami dunianya. Ketika
seseorang meninggal karena kecelakaan atau bencana, dibutuhkan usaha lebih
keras agar dapat memahaminya. Orang yang berdukaciota ingin melakukan peristiwa
kematian tersebut ke dalam perspektif yang dapat dipahami. Sebuah studi
yang dilakukan baru-baru ini yang melibatkan lebih dari 1.000 mahasiswa
mengungkapkan bahwa usaha memahami peristiwa yang terjadi merupakan sebuah
factor penting untuk mengatasi dukacita yang disebabkan oleh kematian yang
tidak wajar akibat kecelakaan, dibunuh, atau bunuh diri.
KEHILANGAN
PASANGAN HIDUP
Pada
tahun 2008 di Amera Serikat, 14 persen pria dan 42 persen wanita usia 65 tahun
ke atas hidup sendiri. Setelah
pasangan yang sangat dicintai meninggal, pasangannya yang masih hidup sering
kali mengalami dukacita mendalam dan sering kali diikuti dengan
kesulitan keuangan, kesepian, serta meningkatnya penyakit fisik, gangguan
psikologis, termasuk depresi (Kowalski dan Bondmas,2008). Setiap pasangan yang
masih hidup memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi pengalaman ini.
Penelitian longitudinal selama 6 tahun terhadap individu berusia 80 tahun ke
atas menemukan bahwa hilangnya pasangan terutama pada pria, terkait dengan tingkat
kepuasan hidup yang lebih rendah selama beberapa waktu. Namun, penelitian lain
menungkapkan bahwa hampir setengah dari pasangan dapat bertahan mengalami stres
tingkat rendah dari tiga tahun menjelang kematian hingga 18 bulan setelah
kematian. Di dalam studi lain yang dilakukan baru-baru ini, individu-individu
yang hidup sendiri memperlihatkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk
meningkatkan kehidupan religius dan keyakinan spiritualnya, dan hal ini
berkaitan dengan tingkat dukacita yang dirasakan lebih rendah. Satu penelitian
menyimpulkan bahwa dukacita kronik cenderung mencirikan kedukaan pasangan yang
sangat bergantung kepada pasangannya.
Jumlah janda lebih banyak
dibandingkan jumlah duda karena wanita hidup lebih lama dibandingkan pria,
karena wanita cenderung menikah dengan pria yang yang lebih tua, dan karena
para duda cenderung untuk menikah kembali. Para janda mungkin adalah kelompok
yang paling miskin di Amerika. Konsekuensi negatif dari kemiskinan untuk para
janda dari etnis Afrika-Amerika dan Latin lebih besar daripada untuk wanita
kulit putih non latin.
Banyak janda merasa kesepian.
Semakin miskin dan rendah pendidikan, mereka semakin merasa kesepian. Dukacita
juga dapat meningkatkan resiko untuk mengalami berbagai masalah kesehatan,
termasuk kematian. Bagaimanakah koneksi antara status pernikahan dan lamanya
hidup menjanda dengan kesehatan pada wanita? Terkoneksi melalui riset
mempelajari relasi antara hidup menjanda dan kesehatan.
Penyesuain yang optimal setelah
peristiwa kematian tergantung pada beberapa faktor. Umumnya wanita
memperlihatkan penyesuaian yang lebih baik dibandingkan pria dalam masyarakat
kita. Wanita bertanggung jawab terhadap kehidupan emosi pasangannya, sementara
pria biasanya lebih banyak mengelola keuangan dan materi. Dengan demikian, para
wanita memiliki jaringan kawan yang lebih baik memiliki relasi yang dekat
dengan kerabat dan secara psikologis lebih berpengalaman dalam merawat diri
sendiri. Para janda yang lebih tua mampu menyesuaikan diri dibandingkan para
janda yang lebih muda. Hal ini mungkin disebabkan karena para perempuan yang
lebih tua lebih mampu menyesuaikan diri terhadap kematian pasangannya.
Sementara para duda biasanya memiliki uang lebih banyak dibandingkan janda dan
memiliki kecenderungan lebih besar untuk menikah kembali. Meskipun demilkian,
penelitian terbaru terhadap orang lanjut usia mengungkapkan bahwa hidup sendiri
terkait dengan depresi yang lebih tinggi pada pria daripada wanita.
Bagi para janda maupun duda,
dukungan sosial dapat membantu mereka menyesuaikan diri terhadap kematian
pasangan. Program Janda-Untuk-Janda (widow-to-Widow program), yang dimulai di
tahun 1960-an, memberikan dukungan kepada para janda baru. Para janda
sukarelawan berusaha menjangkau para janda lain, memperkenalkan mereka pada
lainnya yang mungkin memiliki masalah serupa, memimpin diskusi kelompok dan
mengorganisasi aktivitas-aktivitas sosial. Modal tersebut telah diambil alih
oleh sejumlah organisasi komunitas untuk memberikan dukungan kepada mereka yang
mengalami masa transisi yang sulit. Kelompok dukungan bagi para janda
bermanfaat dalam mereduksi depresi pasangan yang sedang berduka.
Sebuah studi yang dilakukan
baru-baru ini, menemukan bahwa faktor-faktor psikologis dan religius seperti
makna pribadi, optimisme, pentingnya agama, dan pencaharian dukungan religius
berkaitan dengan kesejahteraan psikologis dari orang-orang lanjut usia setelah
mereka kehilangan pasangannya. Lebih lanjut, penelitian terbaru mengungkap
bahwa dibandingkan dengan orang yang masih menikah, orang dewasa usia 50 tahun
keatas yang telah kehilangan pasangan lebih berpartisipasi dalam pekerjaan
sukarela beberapa tahun setelah kematian. Pekerjaan sukarela membantu
melindungi pasangan dari simtom depresi, dan bertambahnya waktu untuk pekerjaan
sukarela meningkatkan self- efficacy mereka. Penelitian terbaru lainnya
menemukan bahwa ketika orang lanjut usia membantu orang lain setelah kematian
pasangannya, mereka mengalami penurunan simtom depresi.
BENTUK-BENTUK
PERKABUNGAN
Salah satu keputusan yang dihadapi
ketika menghadapi peristiwa kematian adalah apa yang harus dilakukan terhadap
tubuh orang yang meninggal. Di banyak budaya, pemakamam merupakan sebuah aspek
penting dari perkabungan. Dalam sebuah studi, yang dilakukan baru-baru ini
ditemukan bahwa individu yang merasa kehilangan dan secara personal religius,
akan memperoleh keuntungan psikologis lebih banyak dari pemakaman, akan
berpartisipasi lebih aktif dalam upacara dan lebih dapat menyesuaikan diri
secara positif terhadap kehilangan.
Beberapa tahun terakhir ini,
industri pemakaman telah menjadi bahan perdebatan. dan Direktur pemakaman para
pendukungnya berpendapat bahwa pemakaman memberikan semacam perasaan dekat
dengan orang yang meninggal, khususnya apabila disertai dengan peti jenazah
yang terbuka. Para pengkritik menyatakan bahwa direktur pemakaman hanya mencoba
untuk memperoleh uang dan pembalsaman merupakan hal yang sangat aneh. Salah
satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari eksploitasi selama masa
kehilangan adalah melakukan aturan pemakaman dan membayarnya dimuka. Meskipun
demikian, dalam sebuah survei diketahui bahwa hanya 24 persen dari 60 persen
lebih individu yang telah melakukan pengaturan pemakaman.
Dalam beberapa budaya, tradisi makan bersama setelah
kematian dipertahankan, dibudaya lain ban lengan digunakan selama satu tahun
setelah kematian. Setiap budaya memiliki cara yang berbeda-beda dalam melakukan
perkabungan. Misalnya budaya suku Amish dan Yahudi tradisional.
Amish adalah kelompok konservatif dengan anggota
kira-kira 80.000-an orang di Amerika Serikat, Ontario, dan beberapa koloni
kecil di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Masyarakat Amish hidup dalam suatu
masyarakat yang berorientasi pada keluarga,di mana keluarga dan masyarakat
pendukungnya begitu penting sebagai penunjang hidup. Saat ini mereka tinggal
dalam suatu kehidupan yang sama seperti nenek moyang mereka. Lebih suka
menggunakan kuda dibandingkan mobil dan memandang kematian dengan kepercayaan
yang sama. Saat ada kematian, tetangga dekat wajib memberitahukannya pada yang
lain. Masyarakat Amish menjalankan seluruh aspek penguburan sebagaimana
mestinya.
Upacara penguburan diadakan dalam
gudang ketika musim panas dan di dalam rumah selama musim dingin. Penerimaan
yang tenang terhadap kematian, dipengaruhi oleh kepercayaan religius yang kuat,
merupakan bagian integral dalam budaya Amish. Setelah penguburan, dukungan
tetap diberikan untuk anggota keluarga yang ditinggalkan minimal selama 1
tahun. Mengunjungi keluarga yang ditinggalkan, membawa potongan-potongan surat
kabar dan barang-barang buatan tangan, mencarikan kerja bagi pasangan yang
dtinggalkan, dan hari-hari yang mengombinasikan hubungan pertemanan dan
roduktivitas merupakan bentuk dukungan yang diberikan untuk keluarga yang
ditinggalkan.
Dalam tradisi Yahudi, keluarga dan masyarakat juga memiliki
peranan yang khusus dan penting dalam pemakaman. Pemakaman dibagi
menjadi beberapa periode waktu, masing-masing dengan praktik yang sesuai.
Praktik dilakukan sesuai dengan kehendak pasangan yang ditinggalkan maupun
kerabatnya. Periode pertamanya adalah aninut, periode antara kematian dan
penguburan. Dua periode berikutnya adalah avelut, atau perlengkapan
perkabungan. Periode pertama dari ini adalah shivah, periode 7 hari di mana
dimulai dengan penguburan. Lalu dilanjutkan dengan sheloshim, periode 30 hari
setelah penguburan, termasuk shivah. Di akhir sheloshim, proses perkabungan
dianggap telah selesai kecuali untuk orang tua. Dalam kasus ini, perkabungan
berlanjut hingga 11 bulan, meskipun tingkat perhatiannya berkurang. Kunjungan
dari orang lain selama shivah dapat membantu mengatasi perasaan bersalah dari
orang yang sedang berkabung, setelah shivah, mereka yang berkabung di dorong
untuk berinteraksi kembali secara normal.
0 komentar:
Posting Komentar