Senin, 21 Mei 2018

Psikologi Perkembangan II (Death, Dying, and Grieving)


BAB I


PENDAHULUAN


1. LATAR BELAKANG


            Saat ini, kematian orang lanjut usia mencakup dua pertiga dari 2 juta kematian yang terjadi setiap tahun. Jadi apa yang kita ketahui tentang kematian, menjelang ajal, dan berduka terutama berdasarkan informasi tentang orang lanjut usia. Kematian usia muda lebih jarang terjadi. Apa yang terjadi secara historis adalah kapan, di mana, dan bagaimana orang meninggal. Bagaimana kita menghadapi kematian adalah bagian dari budaya kita. Setiap budaya memiliki cara menghadapi kematian, dan variasinya terjadi diseluruh budaya.

2. RUMUSAN MASALAH


1.      Bagaimana karakteristik kematian dalam konteks budaya dan historisnya?

2.      Bagaimana kematian didefinisikan?

3.      Bagaimana kaitan antara perkembangan dan kematian?

4.      Bagaimana seseorang menghadapi kematiannya sendiri?

5.      Bagaimana cara seseorang mengatasi kematian orang yang dicintainya?

3. TUJUAN


Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai aspek dari kematian dan proses kematian.

 


 


 


 




BAB II
PEMBAHASAN


1.Sistem Kematian dan Konteks Budaya


SISTEM KEMATIAN DAN VARIASI BUDAYANYA


Robert Kastenbaum (1932 - 2013) menekankan bahwa sistem kematian dalam budaya apapun terdiri dari komponen berikut (Kastenbaum 2009, 2012)

        Orang-orang, Karena kematian tidak dapat dielakkan, semua orang terlibat dengan kematian di beberapa titik, entah kematian mereka sendiri atau kematian orang lain

        Tempat atau Konteks. Ini termasuk rumah sakit, rumah pemakaman, pemakaman, rumah perawatan, medan perang, dan peringatan (seperti vietnam veterans Memorial wall di washington DC)

        Waktu. Kematian melibatkan waktu atau kesempatan, seperti hari peringatan di Amerika Serikat dan Hari Orang Mati di Meksiko, yang merupakan masa untuk menghormati orang-orang yang telah meninggal dunia.

        Benda. Banyak benda dalam budaya dikaitkan dengan kematian, termasuk peti mati, berbagai benda hitam seperti pakaian, ban lengan, dan mobil jenazah.

        Simbol. Simbol seperti tengkorak dan tulang bersilang, serta ritus terakhir dalam agama Katolik dan berbagai upacara keagamaan, berhubungan dengan kematian.

            Untuk Hidup Penuh dan mati dengan kemuliaan adalah tujuan yang berlaku dari orang-orang Yunani kuno. Individu lebih sadar akan kematian di masa perang, kelaparan, dan wabah penyakit. Sedangkan orang Amerika dikondisikan sejak awal kehidupan untuk hidup seolah-olah mereka abadi, di sebagian besar dunia fiksi ini tidak dapat dipertahankan.

            Sebagian besar masyarakat sepanjang sejarah memiliki keyakinan filosofis atau religius tentang kematian, dan kebanyakan masyarakat memiliki ritual yang menangani kematian (Walter, 2012). Kematian bisa dilihat sebagai hukuman atas dosa seseorang, tindakan penebusan dosa, atau penghakiman dari Tuhan yang adil.

CHANGING HISTORICAL CIRCUMSTANCE

Satu perubahan historis melibatkan kelompok usia di mana kematian paling sering terjadi. Dua ratus tahun yang lalu, setidaknya satu dari dua anak meninggal sebelum usia 10 tahun, dan satu orang tua meninggal sebelum anak-anak tumbuh dewasa. Saat ini, kematian paling sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua (Carr, 2009). Harapan hidup telah meningkat dari 47 tahun untuk seseorang yang lahir pada tahun 1900 sampai 78 tahun untuk seseorang yang lahir hari ini (Biro Sensus A.S 2013). Di Amerika Serikat saat ini, lebih dari 80 persen kematian terjadi di institusi atau rumah sakit. Perawatan orang tua yang sekarat telah bergeser dari keluarga dan meminimalkan paparan kita terhadap kematian dan lingkungannya yang menakjubkan (Emas, 2011).

2. Mendefinisikan Kematian dan Isu-isu Mengenai Hidup/Kematian


ISU-ISU DALAM MENENTUKAN KEMATIAN


Menentukan apakah seseorang sudah mati lebih sederhana dari sekarang. Akhir dari fungsi biologis tertentu, seperti pernapasan dan tekanan darah, dan kekakuan tubuh (rigor mortis) dianggap sebagai tanda kematian yang jelas. Dalam beberapa dekade terakhir, mendefinisikan kematian telah menjadi lebih kompleks (Goswami & yang lainnya, 2013; Nair-Collins, Northrup, & Olcese, 2014; Taylor & Others, 2014)

Kematian otak adalah defenisi neurologis kematian, yang menyatakan bahwa seseorang mati otak saat aktivitas eletrik otak telah berhenti untuk jangka waktu tertentu. Pembacaan EEG (electroencephalogram) datar untuk jangka waktu tertentu adalah satu kriteria kematian otak. Bagian otak yang lebih tinggi sering mati lebih cepat daripada bagian bawahnya. Karena bagian bawah otak memantau detak jantung dan pernafasan, individu yang area otaknya tinggi telah meninggal dapat terus bernafas dan memiliki detak jantung (Binderman, Krakauer, & Solomon, 2012; MacDougall & Others, 2014)

KEPUTUSAN MENGENAI HIDUP, KEMATIAN, DAN PERAWATAN KESEHATAN

            Advance Care Planing. Mengacu pada proses ptients memikirkan dan mengkomunikasikan preferensi mereka tentang akhir perawatan jiwa (Abel & Others, 2013; Harrison & McGee, 2014; Silveira, Witala & Piete, 2014). Sebuah studi baru-baru ini bahwa perencanaan perawatan di muka menurunkan perawatan penunjang hidup, meningkatkan penggunaan hospice, dan penurunan ise rumah sakit (Brinkman-Stoppelenburg, Rietiens, & van der heide, 2014). Menyadari bahwa beberapa pasien yang sakit parah mungkin lebih memilih untuk meninggal daripada berlama-lama dalam keadaan bercumbu atau vegetatif, organisasi "Choice in Dying" menciptakan surat wasiat, sebuah dokumen hukum yang mencerminkan perencanaan perawatan pasien sebelumnya.

            Petunjuk awal, seperti kehendak hidup. Perintah di muka menyatakan preferensi seperti apakah prosedisi bertahan kehidupan seharusnya atau tidak boleh digunakan untuk memperpanjang umur seseorang saat kematian sudah dekat (Kovacs, Landzberg, & Godlin, 2013). Sebuah studi tentang akhir perencanaan kehidupan mengungkapkan bahwa hanya 15 persen pasien berusia 18 tahun dan lebih tua memiliki keinginan hidup (Clements, 2009).

Euthanasia (kematian mudah) adalah tindakan tanpa rasa sakit mengakhiri kehidupan individu yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau cacat servere (Augestad & yang lainnya, 2013; Gormley Fleming & Campbell, 2014). Kadang euthanasia disebut "pembunuhan rahmat" Perbedaan antara dua jenis euthanasia: Pasif dan Aktif.

        Euthanasia pasif terjadi ketika seseorang diizinkan meninggal dengan menahan perawatan yang ada, seperti mencabut perangkat pendukung kehidupan. Misalnya, ini mungkin melibatkan mematikan respirator atau mesin paru-paru jantung

        euthanasia aktif. Terjadi saat kematian sengaja diinduksi, seperti saat dosis mematikan obat disuntikkan.



Yang Dibutuhkan : Perawatan bagi Orang yang Menjelang Ajal. Kemajuan ilmu pengetahuan sering kali membuat kematian semakin sulit dengan menunda hal yang tidak dapat dihindari. Meskipun obat penahan rasa sakit tersedia, masih banyak orang yang kesakitan selama beberapa hari atau bulan terakhir hidupnya.  (Alonso-Babbaro & kawan kawan, 2010; Casell & Rich, 2010). Banyak tenaga kerja kesehatan yang tidak memperoleh pelatihan untuk merawat orang yang menjelang ajal atau memahami arti pentingnya. Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa dalam banyak kasus, dokter tidak memberikan informasi yang cukup pada pasien tentang sisa hidup mereka atau berbagai pengobatan yang bisa memengaruhi kehidupan mereka ( Harrington & Smith, 2008). Sebagai contoh , dalam penelitian ini hanya 37 persen pasien kanker yang diinformasikan oleh dokter tentang sisa hidupnya.

            Terdapat beberapa ukuran keberhaislan dalam menghindari rasa sakit di akhir hidup, diantaranya ialah (Cowly & Hager, 1995) :

·         Buatlah surat wasiat, dan yakinkan seseorang akan menyampaikannya pada dokter anda

·         Berikan kuasa pada seseorang, dan pastikan orang tersebut tahu apa yang anda inginkan dari perawatan kesehatan.

·         Berikan instruksi spesifik pada dokter anda seperti “jangan resusitasi” atau “ lakukan apapun yang memungkinkan” untuk konsdisi spesifik.

·         Jika anda ingin meninggal dirumah , bicarakan pada keluarga dan dokter anda.

·         Periksa apakah asuransi anda mengganti biaya perawatan rumah sakit dan hospice.

            Hospice adalah sebuah program yang memiliki komitmen untuk mengusahakan berakhirnya hidup tanpa rasa sakit, cemas dan depresi (Berry, 2010; Dunn, 2009). Apabila rumah sakit bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memperpanjang hidup, perawatan hospice lebih menekankan pada perawatan untuk meredakan (palliativecare), yaitu usaha mengurangi rasa sakit dan penderitaan, serta membantu individu meninggal secarabermartabat (Bruera & kawan kawan, 2010; Chan& Webster, 2010; Zaider & Kissane, 2009).

            Gerakan hospice dimulai di akhir tahun 1960an di London, hampir tidak ada peralatan yang dapat digunakan untuk memperpanjang seperti mesin pemompa jantung dan paru paru , ruang perawatan intensif (intensive unit care atau ICU ). Tujuan utamanya adalah mengusahakan agar rasa sakit tertahankan dan membantu seseorang untuk menghadapi kematiannya dalam kondisi yang sehat secara psikologis ( McMillan & Small, 2007). Hospice juga melibabatkan semua udaha yang melibatkan keluarga dan individu yang mendekati ajal.para ahli mengungkapkan bahwa cara ini tidak hanya membantu individu yang mendekati ajal, namun juga agar anggota keluarganya tidak terlalu merasa bersalah setelah individu tersebut meninggal ( Kastenbaum, 2009).

3. Perspektif Perkembangan Mengenai Kematian


PENYEBAB KEMATIAN

            Kematian dapat terjadi kapan saja disepanjang kehidupan manusia. Kematian dapat terjadi selama perkembangan prakelahiran melalui keguguran atau lahir dalam keadaan tidak bernyawa. Kematian juga dapat terjadi selama proses kelahiran atau dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran, dimana hal ini biasa terjadi karna cacat lahir atau karena bayi tersebut tidak berkembang secara memadai untuk melangsungkan kehidupannya di luar rahim. Bayi yang mengalami SIDS, berhenti bernafas secara tiba tiba biasanya terjadi dimalam hari, dan meninggal tanpa penyebab yang jelas (Dwyer & Ponsonby.2009; Ostfeld & kawan kawan, 2010). Saat ini SIDS adalah penyebab terbesar kematian bayi yang terjadi di amerika serikat, dimana resiko tertinggi terjadi ketika bayi berusia antara 2 minggu hingga 4 minggu ( NICHD, 2010).

            Dimasa kanak – kanak, kematian lebih banyak terjadi disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit. Contoh kematian dimasa kanak kanak yang disebabkan oleh kecelakaan adalah tertabrak mobil,tenggelam, keracunan, terbakar atau jatuh dari ketinggian. dibandingkan dengan masa kanak kanak, dimasa remaja cenderung disebabkan oleh kecelakaan ketika mengendarai kendaraan bermotor, bunuh diri, atau dibunuh.

            Kematian yang terjadi diantara orang orang lanjut usia lebih banyak disebabkan oleh kpenyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Sementara kematian yang terjadi pada orangorang muda lebih banyakn disebabkan oleh kecelakaan.

SIKAP TERHADAP KEMATIAN DI BEBERAPA FASE PERKEMBANGAN MASA HIDUP.

            Usia anak anak dan orang dewasa memengaruhi cara mereka mengalami dan berfikir mengenai kematian. Konsepsi orang dewasa yang matang mengenai kematian meliputi pemahaman bahwa kematian merupakan sesuatu yang bersifat final dan tidak dapat diubah, bahwa kematian merupakan akhir dari kehidupan,dan bahwa semua yang hidup harus mati (Hayslip & Hansson, 2003).

Masa kanak kanak.

            Anak anak tidak mempersepsikan waktu seperti yang dipersepsikan oleh orang dewasa. Bagi sebagian besar bayi, hadirnya kembali seorang pengasuh dapat memberikan kesinambungan dari keberadaannya dan hal ini dapat mengurangi kecemasan. Anak anak yang berusia 3 sampai 5 tahun sama sekali belum memiliki ide tentang pengertian kematian.

            Kadangkala, dimasa kanak kanak menengah dan akhir, mereka mengembangkan persepsi yang lebih realistis mengenai kematian. Dalam sebuah rangkuman penelitian yang mempelajari konsepsi anak anak mengenai kematian, disimpulkan bahwa anak anak belum dapat memandang kematian sebagai sesuatu yang bersifat universal dan tidak dapat diputar kembali; hal ini dialami hingga anak berusia 9 tahun.

Remaja

            pada remaja kemungkinan meninggal, seperti halnya kemugkinan menjadi tua, dianggap sebagai sebuah gagasan yang sangat jauh, dan juga kematian dianggap dapat dihindari, diabaikan atau dijadikan bahan olok olokan. Perspektif ini merupakan pemikiran kesadaran diri yang tipikal dari seorang remaja. Meskipun demikian, beberapa remaja memperlihatkan kepedulian terhadap kematian. berusaha untuk memahami maknanya dan dalam menghadapi kemungkinan kematiannya sendiri.

            Remaja mengembangkan konsep yang lebih abstrak mengenai kematian daripada anak anak. Sebagai contoh, remaja mendeskripsikan kematian dalam pengertian kegelapan, sinar , transisi atau ketiadaan (Wenestam dan Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan pandangan religius dan filosofis mengenai hakekat kematian dan apakah terdapat kehidupan setelah kematian.

            Ingatlah, tentang konsep mengenai egosentrisme remaja dan fabel pribadi-yaitu, preokupasi remaja dengan dirinya sendiri dan keyakinan bahwa mereka tidak terkalahkan dan unik. Dengan demikian, tidak aneh apabila remaja beranggapanj bahwa mereka memiliki semacam kekebalan terhadap kematian dan kematian merupakan hal yang dapat terjadi pada orang lain, namun tidak dapat terjadi pada diri mereka.meskipun demikian, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa alih-alih menganggap diri mereka tidak terkalahkan, remaja cenderung melihat diri mereka rentan menghadapi kematian dini (Fischhoff & kawan-kawan, 2010; Reyna & Rivers, 2008).

Masa Dewasa

            Seiring dengan bertambahnya usia, kesadaran mengenai kematian pada seseorang juga meningkat, di mana kesadaran ini biasanya menjadi intensif di masa dewasa menengah. Dalam diskusi kita mengenai masa dewasa menengah, kami telah memperlihatkan bahwa masa setengah-baya merupakan waktu di mana orang dewasa mulai berpikir lebih banyak mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidupnya. Para peneliti telah menemukan bahwa orang-orang paruh-baya memiliki ketakutan yang lebih besar terhadap kematian dibandingkan orang-orang dewasa yang lebih muda atau lebih tua (Kalish dan Reynolds, 1976). Orang dewasa yang lebih tua didorong umtuk lebih sering mengkaji makna dari kehidupan dan kematian dibandingkan orang-orang yang lebih muda.
            Dibandingkan orang-orang dewasa menengah, orang-orang dewasa muda yang mendekati ajal sering kali lebih merasa hidupnya “dicuri” dibandingkan orang lanjut usia dengan situasi demikian (Kalish, 1987). Orang-orang dewasa muda lebih sering merasa bahwa mereka belum memperoleh kesempatan untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan dalam hidupnya. Orang dewasa muda merasa bahwa mereka kehilangan apa yang sebenarnya ingin mereka raih, sementara orang dewasa tua merasa bahwa mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki.
            Di usia tua, kematian diri sendiri dapat diterima secara lebih baik. Meningkatnya pemikiran dan percakapan mengenai kematian, dan meningkatnya penghayatan mengenai integritas yang diperoleh melalui suatu tinjauan hidup, dapat membantu orang lanjut usia menghadapi kematiannya. Dibandingkan orang-orang yang lebih muda, orang-orang lanjut usia biasanya tidak begitu banyak memiliki urusan yang belum selesai. Mereka biasanya tidak memiliki anak-anak yang perlu dibimbing untuk mencapai kematangan, pasangan mereka mungkin sudah meninggal, dan mereka memiliki lebih sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Meskipun demikian, sikap orang-orang lanjut usia terhadap kematian tetap bervariasi.

4. Menghadapi Kematian Diri Sendiri


            Sebagian besar individu yang mendekati ajal ingin memiliki sebuah kesempatan untuk membuat sejumlah keputusan mengenai kehidupan dan kematian mereka sendiri (Kastenbaum, 2004).
            Penelitian terbaru mempelajari 36 orang yang mendekati ajalnya, berusia 38 hingga 92 tahun dengan rata-rata usia 68 tahun (Terry dkk., 2006) Tiga area perhatian yang selalu muncul adalah (1) privasi dan otonomi, terutama menyangkut keluarga mereka; (2) informasi yang tidak cukup mengenai perubahan fisik dan perawatan medis ketika menjelang ajal; (3) motivasi untuk memperpendek hidup mereka, yang diindikasikan oleh semua pasien.

TAHAP-TAHAP MENJELANG KEMATIAN MENURUT KUBLER-ROSS

            Elisabeth Kubler-Ross (1969) membagi perilaku dan pikiran dari orang yang mendekati ajal ke dalam lima tahap, yaitu: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.

Penolakan dan isolasi (denial and isolation) adalah tahap pertama dari proses menjelang kematian sebagaimana dinyatakan oleh Kubler-Ross, di mana orang yang akan meninggal menyangkal bahwa ia akan meninggal. Meskipun demikian, penolakan biasanya hanya merupakan mekanisme pertahanan diri yang bersifat sementara. Penolakan akan diganti dengan meningkatnya kesadaran apabila orang tersebut dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai, dan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup anggota keluarga nantinya.

Marah (anger) adalah tahap kedua menurut Kubler-Ross, di mana orang yang mendekati ajal menyadari bahwa penyangkalan yang dilakukan selama ini tidak dapat dipertahankan lagi. Pada titik ini, seseorang menjadi semakin sulit dirawat karena kemarahannya sering kali salah sasaran dan dilampiaskan kepada dokter, perawat, anggota keluarga, dan bahkan kepada Tuhan.

Menawar (bargaining) adalah tahap ketiga dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut berharap kematiannya dapat ditunda atau ditangguhkan. Beberapa orang melakukan penawaran atau negosiasi-sering kali kepada Tuhan- ketika mereka mencoba menunda kematiannya.

Depresi (depression) adalah tahap keempat dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut mulai menerima kepastian atas kematiannya. Periode deperesi atau persiapan duka-cita dapat saja muncul. Orang mendekati ajalnya mungkin akan menjadi pendiam, menolak dikunjungi, serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dan sebenarnya merupakan usaha nyata untuk melepaskan diri dari seluruh objek yang disayangi. Munurut Kubler-Ross, orang pada tahap ini tidak perlu dihibur karena orang tersebut perlu merenungkan kematiannya yang akan segera terjadi.

Menerima (acceptance) adalah tahap kelima dari proses menjelang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Kubler-Ross, di mana orang tersebut mengembangkan rasa damai, menerima nasibnya, dan dalam banyak kasus, ingin dibiarkan sendiri. Dalam tahap ini, perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan tahap kelima sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.

            Bagaimana evaluasi terkini mengenai pendekatan Kubler-Ross? Menurut Robert Kastenbaum (2009), pendekatan Kubler-Ross memiliki beberapa masalah, yaitu:

·         Keberadaan lima-tahap tersebut belum pernah ditunjukkan oleh Kubler-Ross atau penelitian independen.

·         Interpretasi terhadap tahap-tahap ini mengabaikan situasi pasien, termasuk dukungan relasi, efek tertentu dari penyakit, kewajiban keluarga, dan iklim institusi di mana mereka diwawancarai.

            Karena tahap-tahap Kubler-Ross banyak dikritik, beberapa psikolog memilih untuk tidak menganggap uraian Kubler-Ross itu sebagai tahapan, tapi sebagai potensi reaksi pada orang-orang yang mendekati ajal.
            Apakah individu menjadi spiritual ketika mereka mendekati kematiannya? Penelitian terbaru terhadap lebih dari 100 pasien dengan penyakit jantung yang diteliti dua kali dengan selang enam bulan, menemukan bahwa ketika pasien semakin mendekati ajalnya, mereka menjadi lebih spiritual.

PEMAHAMAN TERHADAP KENDALI DAN PENOLAKAN

            Bagi beberapa orang lanjut usia yang menghadapi kematian, pemahaman tehadap kendali yang dimiliki dapat menjadi strategi yang adaptif. Ketika individu dibiarkan untuk memiliki keyakinan bahwa mereka dapat memengaruhi dan mengendalikan peristiwa -seperti memperpanjang hidupnya- mereka dapat menjadi lebih waspada dan gembira.
            Bagi sejumlah individu, penolakan juga dapat menjadi suatu cara yang baik dalam menghadapi kematian. Cara ini dapat bersikap adaptif maupun maladaptif. Penolakan ini mencegah individu agar tidak mengatasinya dengan perasaan marah dan terluka; meskipun demikian, apabila penolakan mencegah kita untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dapat mempertahankan hidup, maka penolakan itu dikatakan bersifat maladaptif. Penolakan dapat baik ataupun buruk; kualitas adaptifnya perlu dievaluasi secara individu.



BEBERAPA KONTEKS DI MANA ORANG MENINGGAL

            Bagi individu yang mendekati ajal, konteks di mana mereka meninggal merupakan hal yang penting.
            Rumah sakit menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi individu yang mendekati ajal; sebagai contoh, para staf professional sudah siap dan dilengkapi dengan teknologi medis yang dapat memperpanjang hidup. Namun, rumah sakit mungkin bukanlah tempat terbaik bagi banyak orang untuk meninggal (Pantilat & Isaac, 2008). Sebagian besar individu mengatakan bahwa mereka lebih memilih meninggal di rumah (Jackson & kawan-kawan, 2010; Kalish & Reynolds, 1976). Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang akan menjadi beban bagi keluarga. Individu-individu yang menghadapi kematian juga mengkhawatirkan kemampuan dan ketersediaan penanganan medis yang siap sedia dalam kondisi darurat, apabila mereka tinggal di rumah.

5 Mengatasi Kematian Orang Lain


Setiap orang pasti pernah mengalami sebuah kehilangan dalam hidup mereka seperti perceraian, kehilangan pekerjaan ataupun kematian seseorang yang kita cintai. Bagaimanakah cara terbaik kita untuk berkomunikasi dengan seseorang menjelang kematiannya? Bagaimana cara kita mengatasi kematian seseorang yang kita cintai?

BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MENJELANG AJALNYA

Ada beberapa keuntungan dari kesadaran seseorang menjelang kematiannya . pertama, individu dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara meninggal sesuai keinginannya. Kedua, mereka dapat menyelesaikan beberapa rencana dan proyek, dapat melakukan pengaturan bagi orang-orang yang masih hidup, dan dapat berpartisipasi dalam membuat keputusan mengenai pemakamannya. Ketiga, individu berkesempatan meninjau kembali hidupnya, berbincang dengan orang-orang yang penting dalam hidupnya, dan mengakhiri kehidupannya dengan kesadaran mengenai bagaimana kehidupannya selama ini. Dan keempat, individu itu menjadi lebih memahami apa yang terjadi dengan tubuhnya dan apa yang dilakukan oleh para staf medis terhadap tubuhnya. Dan komunikasi sebaiknya difokuskan pada kekuatan individu dan persiapan untuk mengahadapi sisa hidupnya.

DUKACITA

Dimensi-dimensi Dukacita

Dukacita (grief) adalah ketumpulan emosi, ketidakyakinan, kecemasan karena keterpisahan (separation anxiety), putus asa, kesedihan, dan kesepian, yang menyertai kehilangann seseorang yang kita cintai. Dukacita bukanlah suatu kondisi emosional yang sederhana, melainkan suatu kondisi komnpleks yang melibatkan proses dengan berbagai dimensi.

Proses dukacita itu naik-turun dan bukan tahapan yang teratur dan jelas. Naik-turunnya dukacita sering kali melibatkan perubahan emosi yang berlangsung cepat, menghadapi tantangan untuk mempelajari keterampilan baru, mendeteksi kelemahan dan keterbatasan pribadi, menciptakan pola-pola perilaku yang baru, dan membentuk persahabatan dari relasi-relasi baru.

Dukacita yang panjang kadangkala ditutupi dan dapat mengakibatkan seseorang mengalami depresi dan bahkan bunuh diri. Meskipun demikian, komunikasi keluarga yang baik dapat membantu mengurangi insiden depresi dan bunuh diri. Ahli terkemuka Holly Prigerson dan koleganya baru-baru ini menyarankan penggunaan istilah dukacita berkepanjangan (Prolonged Grief) untuk mendeskripsikan jenis dukacita dengan keputusasaan berkepanjangan dan tidak terselesaikan selama beberapa waktu tertentu.

Jenis dukacita yang lain adalah dukacita disenfranchised, yang mendeskripsikan dukacita seseorang terhadap orang yang meninggal, yang secara sosial merupakan kehilangan yang tidak dapat diungkapkan atau didukung secara terbuka seperti relasi yang tidak diakui secara sosial seperti mantan pasangan dan  kehilangan yang ditutupi sperti aborsi.

Model Dual Proses dalam Mengatasi Pengalaman Kehilangan

Model Dual Proses adalah model usaha coping masalah kematian yang terdiri dari (1) stressor yang berorientasi pada kehilangan, dan (2) stressor yang berorientasi pada pemulihan. Stressor yang berorientasi pada kehilangan berfokus pada individu yang telah meninggal dan mencakup mengenang kembali secara positngkan stressor yang berfokus pada pemulihan adalah stressor tingkat dua yang timbul sebagai hasil tidak langsung dari berkabung. Dalam model dual proses, coping terhadap kehilangan dan upaya pemulihan dapat dilakukan secara bersama-sama. Meskipun upaya coping terhadap kehilangan dan melakukan pemulihan dapat berlangsung bersama-sama, biasanya tahap awal diawali dengan upaya coping terhadap kehilangan, kemudian diikuti dengan upaya pemulihan.

Coping dan Jenis Kematian

Pengaruh kematian terhadap individu-individu yang selamat sangat dipengaruhi oleh situasi dimana kematian itu terjadi. Kematian yang terjadi secara mendadak, sebelum waktunya, disebabkan oleh kekerasan, atau traumatic, cenderung memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap individu yang ditinggalkan; proses coping juga tersa lebih sulit bagi mereka. Kematian-kematian semacam itu sering kali disertai post-traumatic stress disorder (PTSD) seperti munculnya pikiran-pikiran yang mengganggu, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, dan sebagainya.

Variasi Budaya dalam Dukacita yang Sehat

Sangat penting memutuskan ikatan dengan orang yang telah meninggal. Ada banyak variasi dalam hal kecenderungan melanjutkan ikatan dengan orang yang sudah meninggal. Ritual agama di Jepang cenderung menerima dan melestarikan pembinaan iaktan dengan orang yang sudah meninggal. Di Hopi-Arizona , orang –orang cenderung secepat mungkin melupakan orang yang sudah meninggal dan melanjutkan kehidupan seperti biasanya. Ritual penguburan mereka ditutup dengan memutuskan hubungan antara manusia dan roh.

Pola dukacita yang bereda-beda ini terkait dengan budaya. Terdapat berbagai cara untuk mengenang orang yang telah meninggal dan serangkaian  tahp yang harus dilalui oleh orang yang berdukacita agar mereka dapat menyesuaikan kembali secara baik. Yang perlu dipahami adalah bahwa usaha mengatasi penglaman kematian dari orang yang kita cintai melibatkan pertumbuhan, fleksiblitas, dan kepatutan dalam konteks budaya.

MEMAHAMI DUNIA INI

Salah satu keuntungan dukacita adalah bahwa dukacita merangsang individu untuk mencoba memahami dunianya. Ketika seseorang meninggal karena kecelakaan atau bencana, dibutuhkan usaha lebih keras agar dapat memahaminya. Orang yang berdukaciota ingin melakukan peristiwa kematian tersebut ke dalam perspektif yang dapat dipahami. Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini yang melibatkan lebih dari 1.000 mahasiswa mengungkapkan bahwa usaha memahami peristiwa yang terjadi merupakan sebuah factor penting untuk mengatasi dukacita yang disebabkan oleh kematian yang tidak wajar akibat kecelakaan, dibunuh, atau bunuh diri.

KEHILANGAN PASANGAN HIDUP

Pada tahun 2008 di Amera Serikat, 14 persen pria dan 42 persen wanita usia 65 tahun ke atas hidup sendiri. Setelah pasangan yang sangat dicintai meninggal, pasangannya yang masih hidup sering kali mengalami dukacita mendalam dan sering kali diikuti dengan kesulitan keuangan, kesepian, serta meningkatnya penyakit fisik, gangguan psikologis, termasuk depresi (Kowalski dan Bondmas,2008). Setiap pasangan yang masih hidup memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi pengalaman ini. Penelitian longitudinal selama 6 tahun terhadap individu berusia 80 tahun ke atas menemukan bahwa hilangnya pasangan terutama pada pria, terkait dengan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah selama beberapa waktu. Namun, penelitian lain menungkapkan bahwa hampir setengah dari pasangan dapat bertahan mengalami stres tingkat rendah dari tiga tahun menjelang kematian hingga 18 bulan setelah kematian. Di dalam studi lain yang dilakukan baru-baru ini, individu-individu yang hidup sendiri memperlihatkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk meningkatkan kehidupan religius dan keyakinan spiritualnya, dan hal ini berkaitan dengan tingkat dukacita yang dirasakan lebih rendah. Satu penelitian menyimpulkan bahwa dukacita kronik cenderung mencirikan kedukaan pasangan yang sangat bergantung kepada pasangannya.

            Jumlah janda lebih banyak dibandingkan jumlah duda karena wanita hidup lebih lama dibandingkan pria, karena wanita cenderung menikah dengan pria yang yang lebih tua, dan karena para duda cenderung untuk menikah kembali. Para janda mungkin adalah kelompok yang paling miskin di Amerika. Konsekuensi negatif dari kemiskinan untuk para janda dari etnis Afrika-Amerika dan Latin lebih besar daripada untuk wanita kulit putih non latin.

            Banyak janda merasa kesepian. Semakin miskin dan rendah pendidikan, mereka semakin merasa kesepian. Dukacita juga dapat meningkatkan resiko untuk mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk kematian. Bagaimanakah koneksi antara status pernikahan dan lamanya hidup menjanda dengan kesehatan pada wanita? Terkoneksi melalui riset mempelajari relasi antara hidup menjanda dan kesehatan.

            Penyesuain yang optimal setelah peristiwa kematian tergantung pada beberapa faktor. Umumnya wanita memperlihatkan penyesuaian yang lebih baik dibandingkan pria dalam masyarakat kita. Wanita bertanggung jawab terhadap kehidupan emosi pasangannya, sementara pria biasanya lebih banyak mengelola keuangan dan materi. Dengan demikian, para wanita memiliki jaringan kawan yang lebih baik memiliki relasi yang dekat dengan kerabat dan secara psikologis lebih berpengalaman dalam merawat diri sendiri. Para janda yang lebih tua mampu menyesuaikan diri dibandingkan para janda yang lebih muda. Hal ini mungkin disebabkan karena para perempuan yang lebih tua lebih mampu menyesuaikan diri terhadap kematian pasangannya. Sementara para duda biasanya memiliki uang lebih banyak dibandingkan janda dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menikah kembali. Meskipun demilkian, penelitian terbaru terhadap orang lanjut usia mengungkapkan bahwa hidup sendiri terkait dengan depresi yang lebih tinggi pada pria daripada wanita.

            Bagi para janda maupun duda, dukungan sosial dapat membantu mereka menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan. Program Janda-Untuk-Janda (widow-to-Widow program), yang dimulai di tahun 1960-an, memberikan dukungan kepada para janda baru. Para janda sukarelawan berusaha menjangkau para janda lain, memperkenalkan mereka pada lainnya yang mungkin memiliki masalah serupa, memimpin diskusi kelompok dan mengorganisasi aktivitas-aktivitas sosial. Modal tersebut telah diambil alih oleh sejumlah organisasi komunitas untuk memberikan dukungan kepada mereka yang mengalami masa transisi yang sulit. Kelompok dukungan bagi para janda bermanfaat dalam mereduksi depresi pasangan yang sedang berduka.

            Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, menemukan bahwa faktor-faktor psikologis dan religius seperti makna pribadi, optimisme, pentingnya agama, dan pencaharian dukungan religius berkaitan dengan kesejahteraan psikologis dari orang-orang lanjut usia setelah mereka kehilangan pasangannya. Lebih lanjut, penelitian terbaru mengungkap bahwa dibandingkan dengan orang yang masih menikah, orang dewasa usia 50 tahun keatas yang telah kehilangan pasangan lebih berpartisipasi dalam pekerjaan sukarela beberapa tahun setelah kematian. Pekerjaan sukarela membantu melindungi pasangan dari simtom depresi, dan bertambahnya waktu untuk pekerjaan sukarela meningkatkan self- efficacy mereka. Penelitian terbaru lainnya menemukan bahwa ketika orang lanjut usia membantu orang lain setelah kematian pasangannya, mereka mengalami penurunan simtom depresi.

BENTUK-BENTUK PERKABUNGAN

            Salah satu keputusan yang dihadapi ketika menghadapi peristiwa kematian adalah apa yang harus dilakukan terhadap tubuh orang yang meninggal. Di banyak budaya, pemakamam merupakan sebuah aspek penting dari perkabungan. Dalam sebuah studi, yang dilakukan baru-baru ini ditemukan bahwa individu yang merasa kehilangan dan secara personal religius, akan memperoleh keuntungan psikologis lebih banyak dari pemakaman, akan berpartisipasi lebih aktif dalam upacara dan lebih dapat menyesuaikan diri secara positif terhadap kehilangan.

            Beberapa tahun terakhir ini, industri pemakaman telah menjadi bahan perdebatan. dan Direktur pemakaman para pendukungnya berpendapat bahwa pemakaman memberikan semacam perasaan dekat dengan orang yang meninggal, khususnya apabila disertai dengan peti jenazah yang terbuka. Para pengkritik menyatakan bahwa direktur pemakaman hanya mencoba untuk memperoleh uang dan pembalsaman merupakan hal yang sangat aneh. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari eksploitasi selama masa kehilangan adalah melakukan aturan pemakaman dan membayarnya dimuka. Meskipun demikian, dalam sebuah survei diketahui bahwa hanya 24 persen dari 60 persen lebih individu yang telah melakukan pengaturan pemakaman.

            Dalam beberapa budaya, tradisi makan bersama setelah kematian dipertahankan, dibudaya lain ban lengan digunakan selama satu tahun setelah kematian. Setiap budaya memiliki cara yang berbeda-beda dalam melakukan perkabungan. Misalnya budaya suku Amish dan Yahudi tradisional.

            Amish adalah kelompok konservatif dengan anggota kira-kira 80.000-an orang di Amerika Serikat, Ontario, dan beberapa koloni kecil di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Masyarakat Amish hidup dalam suatu masyarakat yang berorientasi pada keluarga,di mana keluarga dan masyarakat pendukungnya begitu penting sebagai penunjang hidup. Saat ini mereka tinggal dalam suatu kehidupan yang sama seperti nenek moyang mereka. Lebih suka menggunakan kuda dibandingkan mobil dan memandang kematian dengan kepercayaan yang sama. Saat ada kematian, tetangga dekat wajib memberitahukannya pada yang lain. Masyarakat Amish menjalankan seluruh aspek penguburan sebagaimana mestinya.

            Upacara penguburan diadakan dalam gudang ketika musim panas dan di dalam rumah selama musim dingin. Penerimaan yang tenang terhadap kematian, dipengaruhi oleh kepercayaan religius yang kuat, merupakan bagian integral dalam budaya Amish. Setelah penguburan, dukungan tetap diberikan untuk anggota keluarga yang ditinggalkan minimal selama 1 tahun. Mengunjungi keluarga yang ditinggalkan, membawa potongan-potongan surat kabar dan barang-barang buatan tangan, mencarikan kerja bagi pasangan yang dtinggalkan, dan hari-hari yang mengombinasikan hubungan pertemanan dan roduktivitas merupakan bentuk dukungan yang diberikan untuk keluarga yang ditinggalkan.

            Dalam tradisi Yahudi, keluarga dan masyarakat juga memiliki peranan yang khusus dan penting dalam pemakaman. Pemakaman dibagi menjadi beberapa periode waktu, masing-masing dengan praktik yang sesuai. Praktik dilakukan sesuai dengan kehendak pasangan yang ditinggalkan maupun kerabatnya. Periode pertamanya adalah aninut, periode antara kematian dan penguburan. Dua periode berikutnya adalah avelut, atau perlengkapan perkabungan. Periode pertama dari ini adalah shivah, periode 7 hari di mana dimulai dengan penguburan. Lalu dilanjutkan dengan sheloshim, periode 30 hari setelah penguburan, termasuk shivah. Di akhir sheloshim, proses perkabungan dianggap telah selesai kecuali untuk orang tua. Dalam kasus ini, perkabungan berlanjut hingga 11 bulan, meskipun tingkat perhatiannya berkurang. Kunjungan dari orang lain selama shivah dapat membantu mengatasi perasaan bersalah dari orang yang sedang berkabung, setelah shivah, mereka yang berkabung di dorong untuk berinteraksi kembali secara normal.

0 komentar:

Posting Komentar